Bad 56
Bad 56
Bab 56
Meski Tasya mencoba untuk tetap tenang dan berpikir jernih, dia tidak merasa optimis. Dia duduk di kursi penumpang di mobil Elan dan mereka segera pergi menuju kantor.
Tasya merasa sangat cemas sampai matanya berkaca-kaca. Dia memegang ponsel Maria erat-erat, berharap ayahnya akan segera memberinya berita baik.
“Putramu kelihatannya sangat pintar, jadi dia pasti baik-baik saja.” Sambil menenangkannya, Elan mulai menyalip mobil-mobil di depannya dengan cekatan, dan mobil hitam itu melaju cepat menuju Gedung Jewelia.
Saat mobil sampai di depan gedung, Tasya langsung membuka pintu mobil dan keluar dengan tergesa-gesa, namun karena dia terburu-buru, dia akhirnya jatuh. Saat kaki kanannya mengenai ujung tajam tepian jalan, rasanya nyeri luar biasa sampai dia tidak bisa berdiri untuk sejenak.
Saat itu, sebuah lengan kuat melingkari pinggangnya dan mulai mengangkat tubuhnya. Elan ingin memeriksa lukanya, tapi dia menurunkan tubuhnya secara paksa dan mencoba untuk terus berjalan.
Lalu, Tasya mengetuk pintu kantor dengan perasaan cemas. Penjaga keamanan yang sedang bertugas mengenalinya dan segera membuka pintu untuknya, namun dia menjadi lebih terkejut lagi saat melihat Elan tepat berada di belakang wanita itu. NôvelDrama.Org owns this text.
Setelah itu, Tasya langsung berjalan menuju lift. Saat dia menekan tombol lift, tubuhnya menjadi gemetaran sementara darah keluar dari lututnya.
Elan menatap wanita dengan dingin. Saat pintu lift telah terbuka, Tasya bergegas masuk, dan dia juga ikut masuk dengan sepasang kaki panjangnya.
“Jodi akan baik-baik saja. Jodi akan baik-baik saja. Meskipun dia masih kecil, dia sangat pintar… Tidak, putraku tidak akan terkena nasalah apapun.” Tasya hampir hilang akal dan tubuhnya hampir limbung: dia terus berbicara pada dirinya sendiri seolah sedang menenangkan diri.
Dalam tatapan mata Elan, ada tanda-tanda kekhawatiran yang tidak disadari oleh dirinya sendiri. Segera, lift berhenti di lantai departemen desain. Tasya lalu segera bergegas keluar dan langsung menuju ruangannya. Dia menghubungi ponselnya dengan ponsel Maria dan mendengar deringan ponselnya dari sudut sofa.
Setelah mencarinya di sofa, Tasya menatap ponselnya dengan tangan bergetar. Saat dia membukanya, dia menyadari ada 16 panggilan tidak terjawab. Terkecuali kontak ayahnya, ada sebuah nomer tak dikenal yang sudah menghubunginya berkali-kali. Dia menahan nafasnya segera menghubungi balik nomer itu.
Segera setelahnya, seseorang di seberang sana mengangkatnya. “Halo?”
“Halo, apa ada anak kecil yang menghubungi nomer ini lewat ponselmu?”
“Iya, apa kamu ibunya?”
“Iya, aku ibunya. Apa anakku ada bersamamu?”
“Iya, aku menyuruhnya menunggu di tokoku. Jangan khawatir, dia baik-baik saja dan aku akan menjaganya.” Suara wanita di seberang sana terdengar masih sangat muda namun juga baik.
Beban berat yang ditimpakan di dada Tasya akhirnya lerangkat, dan pada saat itu, suara lembut putranya
menyapa telinganya.
“Aku baik-baik saja, Mama. Jangan khawatir.”
“Jodi… Anakku.” Emosi Tasya langsung tumpah saat itu juga, dan air mata mengaliri pipinya. “Anakku! Terima kasih Tuhan! Aku akan menjemputmu sekarang juga!”
“Jangan menangis, Mama. Aku baik-baik saja.” Bocah lelaki itu menenangkannya dari seberang telepon.
Gadis asing itu kembali menjawab panggilan itu dan berkata, “Bu, aku akan mengirim alamat toko kami.
Tolong segera kesini!”
“Oke, terima kasih! Aku akan segera ke sana.” Tasya memutuskan panggilan itu. Tiba-tiba, dia merasa pusing. Sekarang, karena tubuh tegangnya perlahan melemas, darah langsung terpacu menuju kepalanya dan itu membuatnya pusing.
Dia otomatis mencari pegangan pada sesuatu yang ada di dekatnya. Yang diraihnya adalah lengan seorang pria, dan dia memeluknya erat agar tubuhnya tidak jatuh.
Selanjutnya, sebuah lengan yang lain melingkari pinggangnya, dan seluruh tubuhnya ditarik mendekati sebuah dada bidang. Namun, dia tidak melawan karena dia perlu berpegangan pada pria itu dan menunggu rasa pusingnya berangsur hilang.
Saat dia menundukkan kepalanya, Elan menatap wanita yang tengah bernafas terengah-engah dalam dekapannya. Wajahnya begitu pucat ditambah dengan wajah lemah yang jarang tampil di sana. Itu sangat berbeda dengan wajah biasanya, dan saat itu, dia terlihat sangat memerlukan perlindungan dari orang lain.