Chapter 7
Chapter 7
BAB 7 I Dia Memiliki Dua Nomor
Hari ini Sean tidak pulang ke apartemen. Pria itu beralasan karena dia hendak beberes koper di penthouse pribadinya yang tidak pernah sekali pun Via menginjakkan kaki. Sejak awal affair dimulai, Sean memberinya apartemen pribadi. Awalnya, pria itu mengunjungi hanya ketika butuh, lalu pergi lagi tanpa tidur bersama, kembali ke kediaman pribadi tanpa menunggu pagi. Namun seiring waktu pria itu menetap di sana bersamanya. Semula hanya menginap sehari dua hari, tanpa dirasa menjadi berbulan- bulan lamanya.
Besok pria itu akan pergi kembali ke kampung halaman, mengunjungi kedua orang tua. Tetapi tidak hanya kunjungan biasa, saat makan siang di kantin Via juga mendengar bahwa wanita model bernama Evelyn Madini tinggal di kompleks yang sama dengan Sean. Desas-desus yang beredar membisikkan, bahwa kemungkinan sang CEO hendak mengadakan acara lamaran karena rumah kedua orang tua mereka bersebelahan.
“Dari mana kau tahu bahwa mereka akan melakukan lamaran?” tanya Amber penasaran.
Altha sebagai sumber cerita menjelaskan; “Beberapa waktu lalu Pak CEO memesan cincin berlian dua karat. Kemarin cincin itu tiba, dan dia langsung membawanya di kantong celana. Wajahnya juga sangat sumringah, seperti orang sedang jatuh cinta. Apa namanya kalau bukan kabar gembira untuk sebuah lamaran?” Property © NôvelDrama.Org.
Semua wanita di meja serentak mendesah penuh kekaguman bercampur iri pada Evelyn Madini. Tidak sedikit yang ingin menggantikan posisi wanita model itu.
Perasaan Via semakin terguncang mendengar cincin berlian pesanan. Tidak mengira Sean akan berbuat sejauh itu tanpa mengakhiri hubungan sebelum berpindah hati. Dia mengira selamanya Sean akan
melajang, seperti komitmennya sebelum affair mereka dimulai. Atau hanya dia saja yang polos menerima bahwa Sean Reviano tidak akan menikah pada orang berstatus sosial seperti dia. Benar bahwa hati mudah dibolak-balik. Lagi pula ini perkara romantisme politik kaum sosialita, dimana Sean hanya menikahi yang sekufu dengannya.
“Sudah, jangan disebar sesuatu yang belum benar kejelasannya,” kata Keiza mencoba mengakhiri. Baginya tidak baik membicarakan atasan di lingkungan kerja.
“Ini sudah pasti benar, tidak pernah Pak CEO tersenyum perkara cincin berlian. Berita di media juga mendukung alasan cincin itu,” ucap Altha membenarkan asumsi mereka.
“Tidak ada hubungannya dengan kita bila beliau menikah, biar saja jangan ditambah lagi.” Keiza tidak mau kalah. “Setiap hari Pak CEO jadi bahan pembicaraan, masih banyak topik menarik lainnya.”
Amber menyela dan tidak ingin ketinggalan; “Wajar jika menjadi objek pembicaraan, beliau sudah seperti selebritis dengan sorotan media.”
Via meletakkan tangan di paha Keiza, menahan rekannya untuk tidak membalas sesuatu yang tidak bisa dimenangkan.
“Kei, sepertinya aku lupa meminta data kalibrasi dari Hadley. Mungkin dia sudah kembali dari rapat, temani aku ke ruangannya.”
Keiza menahan lidah, dan mengangguk walau enggan beranjak. Benar juga, percuma mendebat bila lawan bicara sama batunya dengan dia.
Keduanya berpamitan dan meninggalkan kantin dengan perasaan berbeda.
…………………………………………………………………………..
Baru saja Via kembali ke apartemen sesaat setelah dia mendapat pesan dari Sean yang mengatakan dia baru saja berangkat menuju kampung halaman. Beberapa kali Via menghubungi, namun ponselnya tidak aktif. Besoknya di kantor dia tidak melihat Sean di lobby atau pun koridor seperti biasa. Barulah Via yakin mereka sudah tidak lagi berada di kota yang sama.
Tiga hari berlalu begitu saja, namun tidak sekali pun Sean mengabari. Dalam hati Via menyadari apalah dia yang hanya wanita rahasia pria itu. Bukan tugasnya memberi Via kabar setiap waktu, dan bukan hak Via menuntut diperhatikan. Hubungan mereka ada karena saling membutuhkan. Keterikatan fisik adalah sesuatu yang rapuh dan dapat goyah kapan saja.
Ini sudah hari ke tujuh, tetapi Sean tidak juga kembali. Bahkan secuil kabar sepertinya mustahil Via dapatkan. Sampai dia lelah mengutak-atik nomor Sean, menghubungi tanpa lelah siang malam yang hanya dijawab operator dengan suara ceria mengatakan nomor yang dituju tidak dapat dihubungi.
Baru saja Via duduk di kantin, sengaja mencari kursi kosong di sudut, saat tiba-tiba gerombolan ratu gossip mengerubungi mejanya. Entah apa yang membuat mereka menempel padanya, seakan kemana dia pergi gerombolan wanita itu ikut dengan sendiri.
“Kau dengar kabar pagi ini?” tanya Amber memulai gossip mereka.
“Kabar apa?” disambut oleh Altha, Cece dan lainnya.
“Pak CEO bergandengan dengan Evelyn di acara gala dinner malam tadi,” jawab Amber antusias.
Hati Via terbelah menjadi dua. Dadanya panas mendengar berita barusan.
“Mereka sudah sering bersama, lihat, bahkan dalam seminggu ini keduanya sudah menghadiri acara sebanyak tiga kali, ditambah dinner romantis berdua di salah satu restoran bintang lima. Lihatlah
kemesraan yang keduanya tunjukkan saat dinner, ini foto yang diambil papparazi.” Seperti biasa Cece memamerkan layar ponselnya pada grup mereka.
Via menolak untuk melihat, dia tidak yakin hatinya yang patah dapat disatukan kembali, sesaat tadi dia mendengar retakan di hatinya yang tak lama lagi menjadi pecahan puing.
“Ya ampun serasi sekali!” seru mereka serentak.
Tanpa Via sadari tangannya mengepal, meremas rok span hitam yang dia kenakan.
“Apa kau tahu kapan Pak CEO akan kembali?” tanya Amber masih dengan pandangan mengagumi foto- foto Sean.
Altha mengangguk sembari menelan roti bakar. “Beliau bilang dua minggu lagi bila urusannya selesai. Katanya, dia bisa bekerja dari sana mengurus pekerjaan di sini.”
Kepala Via mendongak mendengar penjelasan itu. Hatinya berdebar hendak menanyakan sesuatu; “Kapan dia menghubungi?”
“Setiap hari dia menelepon ke kantor, jadi semua urusan di sini dapat dia selesaikan. Aku juga mengirimkan laporan melalui emailnya, ini sudah menjadi prosedur saat beliau absen.”
Via terhenyak mendengar itu. Selama ini dia mengira Sean benar-benar tidak ada waktu memegang ponsel, ternyata pria itu hanya tidak ada waktu untuk dirinya. Tetapi bagaimana bisa Sean menghubungi kantor bila nomornya tidak pernah aktif, membuat Via mencurigai Sean tidak hanya memiliki satu nomor. Matanya panas dibalut emosi sendu, tetapi menahan diri agar tidak ada yang curiga.
“CEO kita memang pekerja keras,” puji Amber yang kekagumannya semakin meningkat.
“Benar sekali, dia juga menanyakan kabar karyawan satu per satu. Aaaah, benar-benar CEO idaman,” kata Altha menambahkan.
Percakapan itu terus mengalir dimana topiknya tidak jauh-jauh dari sang CEO idaman. Sejak tadi Via hanya diam, menjadi tim pendengar yang hatinya sudah tidak berbentuk lagi seiring banyaknya informasi yang dia terima.
Begitu rombongan itu keluar dari kantin, Via menarik lengan Altha dan mencoba bersikap kasual.
“Aku ingin melaporkan sesuatu pada Pak CEO, apa boleh aku meminta nomornya?” Via memasang wajah datar layaknya professional. Menunjukkan bahwa itu hanya untuk kebutuhan pekerjaan.
Altha tidak langsung mengiyakan. Dia menimbang lebih dahulu sebelum memutuskan untuk memberi nomor tersebut.
“Nomornya 0…..”
Nomor baru itu terprogram ke ponsel Via, dan keduanya memutuskan berpisah begitu sampai di lobby. Via yang hatinya tidak tenang sejak jam makan siang akhirnya memutuskan ke toilet wanita.
Lama dia mengamati nomor ponsel yang tertera di layar. Bahunya tertunduk lesu ketika menyadari bahwa itu adalah nomor yang berbeda. Dia tidak berani memanggil, remuk redam hatinya mendapati kenyataan Sean sengaja mengabaikan keberadaannya.
Tampa terasa air matanya mengalir tak terbendung, dia terisak di atas dudukan toilet. Memikirkan cinta yang tidak berbalas, ditambah pemilik
hatinya sedang berbahagia bersama wanita lain dan tidak sedikit pun memedulikannya. Menanyakan kabar saja tidak, mungkin dia juga tidak
ada dalam kepala pria itu.
Next Chapter